Teater Indonesia : JERIT TANGIS DI MALAM BUTA

Menceritakan Tentang Tiga Orang Buta Yang Menghabiskan Malam Tahun Baru Di Penjara, dan Berakhir dengan Kematian

Teater Indonesia Judul Naskah : RUMAH BONEKA

Naskah ini menceritakan tentang Sebuah Rumah Yang Penghuninya Adalah Manusia Boneka Misterius

Teater Indonesia

Dharma Gita Maha Guru

Teater Indonesia

Teater Indonesia

Teater Indonesia

Selamat datang di Situs Komunitas Teater Indonesia, semoga Semoga bisa menjalin tali persaudaraan antar komunitas teater di Indonesia

Rabu, 16 Mei 2012

Merawat Warisan Teater Indonesia

Merawat Warisan Teater Indonesia Sebagian besar kelompok teater di Indonesia tak bisa lepas dari kebesaran tokoh pendirinya yang biasanya juga menjadi sutradara di hampir kebanyakan pementasannya. Sebut saja Teater Populer yang tak bisa lepas dari nama Teguh Karya, Bengkel Teater dengan W.S. Rendra, Teater Ketjil dengan Arifin C. Noer, Teater Koma yang identik dengan nama Nano Riantiarno, Teater Mandiri dengan Putu Wijaya, dan yang akan berpentas pada 8-9 Desember nanti, Teater Tetas yang lekat dengan nama Ags. Arya Dipayana. Kelekatan ini bukan menjadi masalah. Justru memberi ciri di setiap tubuh kelompok teater tersebut. Teater Populer kental akan gaya realisnya dan Studiklub Teater Bandung (STB) yang juga terkenal karena peran pendirinya, almarhum Suyatna Anirun. kemudan Teater Ketjil yang mulai memperkenalkan gaya surealis yang kemudian diteruskan oleh Teater Kubur yang juga lekat dengan nama Dindon W.S. Teater Mandiri selalu menampilkan pengaruh wayang Bali di semua lakon yang selalu disutradarai Putu Wijaya. Sementara Teater Koma selalu riuh rendah dengan gaya kabaretnya. Sementara Teater Tetas menggabungkan pengaruh Teater Ketjil dan Teater Koma. Surealisme Teater Tetas kerap melibatkan tarian dan nyanyian. Ciri khas ini tentu saja menjadi nilai jual sekaligus menjadi panduan bagi penikmat teater Indonesia. Bayangkan masa-masa kejayaan teater Indonesia pada 1970-an sampai 1990-an, situasi pertunjukan teater kita seperti Broadway. Kalau ingin menonton realis, akan mendatangi Teater Populer, Teater Lembaga, dan STB. Jika ingin eksperimentatif, bisa menonton Teater Ketjil, Teater Payung Hitam dari Bandung yang dipimpin Rahman Saboer, atau Teater Kubur. Sayangnya ciri khas ini ikut menghilang?atau setidaknya berkurang?begitu para tokoh-tokoh pendirinya meninggal, vakum, atau mundur. Bengkel Teater memang tetap berusaha memproduksi karya lewat tangan ken Zuraida?istri W.S. Rendra. Namun tetap saja rasa yang muncul tak sekuat waktu masih disutradarai Rendra. Begitu pula yang terjadi dengan kelompok teater lainnya. Teater Ketjil tak bisa bertahan hidup ketika Arifin C. Noer meninggal dunia. Jajang C. Noer, istri almarhum, tak biasa menjadi sutradara. Ia aktris di kelompok tersebut. Demikian juga ketika Suyatna Anirun meninggal, yang masih bisa diselamatkan adalah upaya sisa-sisa anak didiknya untuk mengajarkan akting realis pada aktor-aktor di Bandung. Nanti pada 8-9 Desember, Teater Tetas akan mementaskan karya dengan penyutradaraan orang lain setelah Ags. Arya Dipayana meninggal pada 1 Maret 2011. Saya belum tahu akan seperti apa Teater Tetas ketika disutradarai Werner Schulze dari Austria. Apakah masih akan menampilkan ciri khas Teater Tetas yang romantis-puitis dalam dialog-dialognya. Melekatkan ciri khas sebuah kelompok teater pada individu memang sangat rentan. Umur manusia terbatas, tidak pernah abadi. Padahal penonton teater bisa diregenerasi. Lihat saja Teater Koma. Di setiap pertunjukannya, selalu ada penonton baru. Upaya meregenerasi penonton ini dengan kreatif dilakukan Teater Koma dengan tampil di sejumlah universitas. Namun apakah mereka melakukan regenerasi di tubuh sendiri? Memang saat ini Nano Riantiarno sedang mempersiapkan putranya, Rangga. Namun itu baru dalam tahap keaktoran. Belum terlihat ia mempercayakan sebuah pertunjukan berskala besar dan baru kepada orang lain. Bisa dibilang saat ini, cara paling nyata untuk bisa merawat sebuah kelompok teater paling strategis dilakukan Teater Garasi. Dengan sistem laboratorium, kelompok teater yang didirikan beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu, berhasil menjadikan teater sebagai laboratorium pemikiran bersama-sama. Di dalamnya, Teater Garasi selalu merangsang anggotanya untuk memperkaya minatnya. Jika memang ia lebih berminat di penyutradaraan, maka ia dilatih untuk mendalami bidang itu. Begitu pula jika ia lebih tertarik dengan akting atau penulisan naskah. Mereka kerap mengadakan workshop, dan sebisa mungkin memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk memproduksi pertunjukan dengan kebidangan yang diminatinya. Pelatihan tentu saja ada di setiap kelompok teater. Tinggal bagaimana pendiri kelompok tersebut rela untuk memberi ruang pada anggotanya untuk berkembang. Inilah yang kadang tidak dimiliki kebanyakan seniman teater. Memang betul bahwa seniman kerap disebut-sebuh sebagai orang teregois sedunia. Apalagi ketika ia berhadapan dengan kelompok yang dilahirkannya. Seolah-olah harus merelakan anak kandungnya diasuh orang lain. Sudah seharusnya para kreator teater berpikir bahwa hanya dengan merelakan hati, sebuah kelompok teater bisa bertahan hidup. Jika memang ia memandang kelompoknya sebagai tempat bernaung sebuah komunitas kesenian?dan bukan milik pribadi?ia harus melibatkan banyak orang untuk melestarikannya sebagai legacy. Kita tak pernah tahu seberapa batas usia kita. Kita tak bisa selamanya terus menjadi sutradara. Apalagi untuk hidup. Sumber Info From : http://www.beritasatu.com

Senin, 14 Mei 2012

Kegiatan Teater Indonesia 2012

Di pertengahan bulan April 2012 ini Teater Indonesia, sudah dikonfirmasikan Kepada Rekan-rekan Yang Lain Untuk Membawakan Naskah yang Telah di buat Oleh Sutrada Kami (Budi Ketjil). Pementasan di Thn 2012 Teater Indonesia Akan Membawakan Naskah ini Yg Judulnya Masih Tahap Proses Judul.,
Untuk Set Dan Properti Bahkan Pemeran Akan Lebih Banyak Dari Naskah Sebelumnya,,!

Sejarah Teater Seni


Sejarah panjang seni teater dipercayai keberadaannya sejak manusia
mulai melakukan interaksi satu sama lain. Interaksi itu juga
berlangsung bersamaan dengan tafsiran-tafsiran terhadap alam
semesta. Dengan demikian, pemaknaan-pemaknaan teater tidak jauh
berada dalam hubungan interaksi dan tafsiran-tafsiran antara manusia
dan alam semesta. Selain itu, sejarah seni teater pun diyakini berasal
dari usaha-usaha perburuan manusia primitif dalam mempertahankan
kehidupan mereka. Pada perburuan ini, mereka menirukan perilaku
binatang buruannya. Setelah selesai melakukan perburuan, mereka
mengadakan ritual atau upacara-upacara sebagai bentuk “rasa syukur”
mereka, dan “penghormatan” terhadap Sang Pencipta semesta. Ada
juga yang menyebutkan sejarah teater dimulai dari Mesir pada 4000
SM dengan upacara pemujaan dewa Dionisus. Tata cara upacara ini
kemudian dibakukan serta difestivalkan pada suatu tempat untuk
dipertunjukkan serta dihadiri oleh manusia yang lain.

The Theatre berasal dari kata Yunani Kuno, Theatron yang
berarti seeing place atau tempat menyaksikan atau tempat dimana
aktor mementaskan lakon dan orang-orang menontonnya. Sedangkan
istilah teater atau dalam bahasa Inggrisnya theatre mengacu kepada
aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan, kelompok yang
melakukan kegiatan itu dan seni pertunjukan itu sendiri. Namun
demikian, teater selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari
kata Yunani Kuno, Draomai yang berarti bertindak atau berbuat dan
Drame yang berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan
Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang
kehidupan kelas menengah atau dalam istilah yang lebih ketat berarti
lakon serius yang menggarap satu masalah yang punya arti penting
tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata drama juga dianggap
telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani
Kuno (800-277 SM). Hubungan kata teater dan drama bersandingan
sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang
mempergunakan drama ’lebih identik sebagai teks atau naskah atau
lakon atau karya sastra.
Terlepas dari sejarah dan asal kata yang melatarbelakanginya,
seni teater merupakan suatu karya seni yang rumit dan kompleks,
sehingga sering disebut dengan collective art atau synthetic art artinya
teater merupakan sintesa dari berbagai disiplin seni yang melibatkan
berbagai macam keahlian dan keterampilan. Seni teater
menggabungkan unsur-unsur audio, visual, dan kinestetik (gerak) yang
meliputi bunyi, suara, musik, gerak serta seni rupa. Seni teater
merupakan suatu kesatuan seni yang diciptakan oleh penulis lakon,
sutradara, pemain (pemeran), penata artistik, pekerja teknik, dan
diproduksi oleh sekelompok orang produksi. Sebagai seni kolektif, seni
teater dilakukan bersama-sama yang mengharuskan semuanya
sejalan dan seirama serta perlu harmonisasi dari keseluruhan tim.
Pertunjukan ini merupakan proses seseorang atau sekelompok
manusia dalam rangka mencapai tujuan artistik secara bersama.
Dalam proses produksi artistik ini, ada sekelompok orang yang
mengkoordinasikan kegiatan (tim produksi). Kelompok ini yang
menggerakkan dan menyediakan fasilitas, teknik penggarapan, latihanlatihan,
dan alat-alat guna pencapaian ekspresi bersama. Hasil dari
proses ini dapat dinikmati oleh penyelenggara dan penonton. Bagi
xv
penyelenggara, hasil dari proses tersebut merupakan suatu kepuasan
tersendiri, sebagai ekspresi estetis, pengembangan profesi dan
penyaluran kreativitas, sedangkan bagi penonton, diharapkan dapat
diperoleh pengalaman batin atau perasaan atau juga bisa sebagai
media pembelajaran.
Melihat permasalahan di dalam teater yang begitu kompleks,
maka penulis mencoba membuat sebuah paparan pengetahuan teater
dari berbagai unsur. Paparan ini dimulai dari Bab I Pengetahuan
Teater yang berisi tentang definisi teater baik secara keseluruhan
maupun secara detail, sejarah singkat perkembangan teater baik
sejarah singkat teater Eropa maupun sejarah singkat teater Indonesia,
dan unsur-unsur pembentuk teater. Bab ini sangat penting karena
untuk mendasari pemikiran dan pengetahuan tentang seni teater.
Bab II Lakon yang berisi tentang tipe-tipe lakon, tema, plot,
struktur dramatik lakon, setting, dan penokohan. Dalam bab ini
pembahasan lebih banyak pada analisis elemen lakon sebagai
persiapan produksi seni teater. Sesederhana apa pun sebuah naskah
lakon, diperlukan sebagai pedoman pengembangan laku di atas
pentas. Pemilihan lakon yang akan disajikan dalam pementasan
merupakan tugas yang sangat penting. Tidak sembarang lakon akan
sesuai dan baik jika dipentaskan. Sulitnya tugas ini disebabkan oleh
karena setiap kelompok teater memiliki ciri khas masing-masing.
Sebuah lakon yang dipentaskan dengan baik oleh satu kelompok
teater, belum tentu akan menjadi baik pula jika dipentaskan oleh
kelompok lainnya.
Bab III Penyutradaraan yang berisi tentang penentuan lakon
yang akan dipentaskan, analisis lakon secara menyeluruh hingga
sampai tahap konsep pementasan, menentukan bentuk pementasan,
memilih pemain, membuat rancangan blocking, serta latihan-latihan
hingga gladi bersih. Kerja penyutradaan dalam sebuah pementasan
merupakan kerja perancangan. Seorang sutradara harus bisa memberi
motivasi dan semangat kebersamaan dalam kelompok untuk
menyatukan visi dan misi pementasan antar mereka yang terlibat.
Kerja penyutradaraan merupakan kegiatan perancangan panggung
dapat berupa penciptaan estetika panggung maupun ekspresi
eksperimental.
Bab IV Pemeranan yang berisi tentang persiapan seorang
pemeran dalam sebuah pementasan seni teater. Persiapan tersebut
meliputi persiapan olah tubuh, olah suara, penghayatan karakter serta
teknik-teknik pemeranan. Persiapan seorang pemeran dianggap
penting karena pemeran adalah seorang seniman yang
mengekspresikan dirinya sesuai dengan tuntutan baru dan harus
memiliki kemampuan untuk menjadi ’orang baru’. Pemeran
didefinisikan pula sebagai tulang punggung pementasan, karena
dengan pemeran yang baik, tepat, dan berpengalaman akan
menghasilkan pementasan yang bermutu. Pementasan bermutu
adalah pementasan yang secara ideal mampu menterjemahkan isi
naskah. Walaupun di lain pihak masih ada sutradara yang akan melatih
dan mengarahkan pemeran sebelum pentas, tetapi setelah di atas
panggung tanggungjawab itu sepenuhnya milik pemeran.
Bab V Tata Artistik yang berisi tentang teori dan praktek tata
artistik yang meliputi; tata rias, tata busana, tata cahaya, tata
panggung, dan tata suara. Sebagai komponen pendukung pokok,
xvi
keberadaan tata artistik dalam pementasan teater sangatlah vital.
Tanpa pengetahuan dasar artistik seorang sutradara atau pemain
teater tidak akan mampu menampilkan kemampuannya dengan baik.
Persesuaian dengan tata artistik yang menghasilkan wujud nyata
keindahan tampilan di atas pentas adalah pilihan wajib bagi para
pelaku seni teater.
Bahasan yang penulis pilih dalam setiap bab merupakan
pengetahuan dan praktek mendasar proses penciptaan seni teater.
Artinya, sebuah pertunjukan teater yang berlangsung di atas panggung
membutuhkan proses garap yang lama mulai dari (penentuan) lakon,
penyutradaraan, pemeranan, dan proses penataan artistik. Dalam
setiap tahapan proses ini melibatkan banyak orang (pendukung) dari
berbagai bidang sehingga dengan memahami tugas dan tanggung
jawab masing-masing maka kerja penciptaan teater akan padu.
Kualitas kerja setiap bidang akan menjadi harmonis jika masingmasing
dapat bekerja secara bersama dan bekerja bersama akan
berhasil dengan baik jika semua elemen memahami tugas dan
tanggung jawabnya. Itulah inti dari proes penciptaan seni teater, “kerja
sama”.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More